Jumat, 22 Juni 2012

Sore Jingga dan Asa yang Tenggelam Bersama Matahari

Dari cibubur aku langsung buru-buru ke depok. Duh, gimana nih, hadiahnya belum aku bungkus. Padahal hampir satu bulan sudah benda itu ada di tanganku. Aku beli dua, satu untukku dan satunya lagi untuk temanku. Kebetulan aja sih aku ingat kalo aku butuh benda itu. Dan kupikir, mungkin dia juga butuh. Keradaannya tidak urgen, tapi perlu di saat-saat tertentu. Pointer. Yah, seneng aja megang pointer.
Aku pikir dia akan datang besok. Ternyata, hari ini. Duh, kenapa ga besok aja? Kenapa dia ga langsung ke tempat yang seharusnya lebih urgen?. 
Jujur, sebenarnya aku tidak berani bertemu langsung dengannya. Sudah satu tahun tidak bertemu. Tapi, aku harus menyerahkan benda itu, karena aku sudah meniatkannya dari awal. Ngga niatan lain, just it.
Lucky day. Hari yang cerah, dan panas terik. Tapi berjalan di jalur sepeda pinggir danau menuju perpustakaan - tempat favoritku, hm..segar..
Sekali lagi, aku tak berani mengatakan “aku ingin bertemu”. JAdi, sampai di perpustakaan aku bingung mau ngapain. Aku tak ada niat belajar disini hari ini. Aku berharap bertemu secara kebetulan disini, kuserahkan hadiahnya, lalu ngacir pulang. Tapi.. ohya..belum dibungkus.. ah, aku cari pojokan nyaman ah, buat bungkus ini. Hm, lantai 2, ok.
Selesai. Aku ke bawah lagi. Kemana lagi kalau bukan di bawah pohon kecil pinggir danau depan starbucks coffee. Tapi masih panas, jadi aku urung. Sepertinya di tangga melingkar depan perpus lebih adem. Disini aku mulai menunggu. Nunggu apa? Ngga tahu juga sih.



Hampir jam 1 siang. Ah, bilang aja aku disini.
Message sent.
Apa?! Ba’da Ashar?
Baiklah, kutunggu. Untungnya ini tempat favoritku, berlama-lamapun ga jadi masalah.
Haus. Beli minuman.
Laper. Makan cemilan cepuluh.
Wajah-wajah yang duduk di sekitarku sudah berganti-ganti. Ada Indonesia, chinese, korea. Dan ada juga yang bermuka kucing, karena memang dia seekor, ehh..dua ekor kucing.
Adik perempuan penjaja koran sudah dua kali menawarkan korannya padaku. Dengan muka memelas, “Kak, beli korannya dong kak, aku masih banyak nih…(maksudnya, kapan habisnya nih kalo ga dibeli-beli)”. Sambil senyum aku jawab, “maap, ga suka baca koran..hehe..” dan gantian aku yang nawarin sebungkus cemilan cepuluh padanya. “Thank you” sahutnya sambil berlalu. Waduh, keren juga ni bocah. Untung aku masih ingat balasannya apa. “You’re welcome…” balasku.

Maaf saja, bukan aku tak berempati pada bocah penjaja koran. Aku ga terlalu doyan baca koran. JAdi setiap aku beli koran, pasti cuma nambah berat ranselku aja. Huff, pegeeel.. Nyampe rumah, dalam keadaan berlipat-lipat, pluk!! Tarok bersama teman-temannya yang lain di tumpukan kertas yang aku tak tahu isinya apa aja (campuran bahan kuliah dan bahan ajar sih, hehe..).
Kembali ke cerita semula. Padahal ini postingan sedih, tapi masih ada aja “hehehe” nya.. ketularan ni Fathel nih (maap Uni, daku jadiin kambing putih, peaaace…*-*V).
Sudah mau jam 3 nih. Ke mushola dulu ah, siap-siap shalat. Lebih baik menunggu shalat daripada menunggu manusia. Apa hubungannya???!

Selesai shalat ashar.
Pinggir danau sudah mulai teduh. Asiiik, duduk di tempat favorit. Untung aku bawa bahan buat dibaca. Duduk disini bikin hatiku damai. Dari sini aku bisa memandangi danau yang tenang, dikelilingi oleh rektorat yang menjulang tepat di hadapanku, balsid, Masjid UI dan tentu saja, bangunan baru dan megah yang ada di belakangku, perpustakaan pusat.




Ah, aku lupa! Habis ashar itu kan bisa jadi jam 15.20, 16.00 atau 17.00 kan?
Pukul 15.30. Sudah mulai ngga sabaran. Aku sms ah.
Message sent.
Hah? Ada telpon!
Oh? Ya ya ya. Apa?!
Oh, jangan-jangan dia ngga berniat datang kesini. Hm.. L
Aku pura-pura ngambek ah.
Setengah jam berlalu.
Apa?! Bener-bener ga datang?
Oke, sampai disini saja. Mari kita pulang…
But…wait wait wait…
Benda yang ada dalam tasku ini mau diapain? Buang ke danau aja kali ya?
Ah, tapi sayang..
Tapi kan niat baiknya sudah dicatat sama malaikat? (Beneeer??)
Tapi..tapi..tapi…
Ah, baiklah. Aku ngaku aja. Aku masih diperpus lho…kubilang gitu (kira-kira seperti itu)
Ngga ada balasan. Hening.
Hingga jam 17.30. Baiklah, aku pulang..tanpa dendam…(jangan disambung, walapun ini lirik lagu sheila on 7, tapi ga cocok sambungannya)


Di hari itu, di pinggir danau itu, bersama riak-riak kecil yang seirama dengan riak di hatiku, aku telah memancangkan sebuah azzam. Aku akan menganggap kisah ini tak pernah ada. Aku akan menginstall ulang hatiku. Aku takkan menyesali kisah ini pernah terjadi, karena ini adalah bagian yang akan menjadi monumen dalam ingatanku untuk tidak mengulanginya lagi. Cukup sudah. Virus ini akan segera mati, terkubur bersama puing-puing mimpi dan asa yang tlah menjulang tinggi. Aku ingin kembali fitri. Biarlah takdir yang menghantarkanku pada dia yang memang Allah takdirkan untukku. Bisa jadi memang dia, orang lain atau tidak pernah ada sama sekali, di dunia ini.
Bukan dengan cara seperti ini. Yah, tidak seharusnya begini.
Sulit? Salah sendiri kenapa berani menabur benih, hingga akhirnya ia tumbuh.
Masih bisa di cabut? Mari kita coba.

Tuhan dulu pernah, aku menaruh simpati
Kepada manusia yang alfa jua buta
Lalu terseretlah
Aku di lorong gelisah
Luka hati yang berdarah
Kini jadi kian parah
Tuhan, dosaku menggunung tinggi
Tapi rahmatMu melangit luas
Harga selautan syukurku
Hanyalah setitik nikmatMu di bumi

1 komentar:

  1. tulisannya sangat menyentuh, terutama ama orang2 yang jarang mikir pake perasaan...

    maaf...

    BalasHapus